Blog Mabsus Abu Fatih

13 Januari 2017

Inilah Suami Terbaik Menurut RasuluLlah

Suami terbaik. Adalah predikat yang ingin diraih oleh setiap suami. Hal ini dikarenakan Rosullah SAW pernah besabda, [Akmalu al-mu’minîna îmânan akhsanuhum khuluqon, wa Khiyârukum khiyârukum li nisâihim] artinya “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya. (HR Tirmidzi, Abu Daud [Hasan Shahih]). Lantas, seperti apakah suami yang terbaik itu? Berikut penjelasan dari Nabi Shallahu ‘alaihi Wasallam.

Pertama, Suami terbaik adalah RosuluLlah dan yang mencontoh RosuluLlah SAW.

Bersabda RasuluLlah saw, [Khoirukum khoirukum li ahlihi wa anâ khoirukum] artinya “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya. Dan saya adalah orang yang paling baik terhadap istri.” (HR .Thabrani, Tirmidzi [Shahih])

Jadi, suami terbaik adalah suami yang meniru RosuluLlah SAW dalam berumah tangga. Di sinilah perlunya para suami untuk mempelajari perilaku RosuluLlah dalam berumah tangga. Baik melalui kajian hadits maupun kajian Siroh Nabawiyah. Sulit rasanya ingin menjadi suami yang terbaik bagi istrinya, sementara dia sendiri tidak pernah mendalami bagaiman sang suami terbaik sejati –yaitu RosuluLlah SAW- memperlakukan istri-istri beliau dalam kehidupan rumah tangga.

Kedua, Suami Terbaik Tidak menghinakan Istri.

Suami yang terbaik adalah suami yang tidak menghinakan istri. Dalam kehidupan rumah tangga, yang namanya permasalahan pasti akan dialami oleh siapapun. Dalam kondisi suami mengalami masalah dengan istri tidak sepatutnya kemudian menghinakan istri baik dengan perkataan maupun perbuatan. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shallalhu ‘alaihi wa sallam: [Mâ akroma annisâa illâ karîmun wa mâ ahânahunna illâ laîmun] artinya “Tidaklah memuliakan perempuan kecuali orang yang mulia, dan tidaklah menghinakan perempuan kecuali orang yang keji” (HR Ibnu Asakir)

Semoga kita diberi kemudahan oleh Allah SWT untuk menjadi suami yang baik bagi istri kita. Âmîn Yâ Robal Âlamîn. []Mabsus AF
Share:

12 Januari 2017

Agar Nasehat Orang Tua Berpengaruh Pada Anak

Sebagai orang tua, tentulah kita menginginkan anak-anak kita menjadi pribadi yang baik dikemudian hari. Menginginkan mereka menjadi anak yang berbakti kepada orang tua, juga taat dan patuh pada aturan agama. Hal ini tentu tidak secara spontan terjadi begitu saja, ada peran kita selaku orang tua dalam membentuk kepribadian anak-anak kita. Kitalah yang bertanggung jawab atas apa yang akan terjadi kepada anak kita dikemudian hari.
Oleh karenanya para orang tua mesti memperhatikan perilakunya dihadapan anak. Karena, bagi anak-anak kita orang tua mereka adalah sosok yang ditauladani. Mereka cenderung melakukan apa yang mereka lihat dari sikap kita dihadapan mereka dibanding dengan ucapan yang keluar dari lisan kita. Dr Muhammad Muhammad Badri dalam bukunya ‘Sentuhan Jiwa Untuk Anak Kita’ mengatakan;
Mereka (anak-anak) belajar dari segala perbuatan anda. Jika anda berbohong di depan mereka dengan alasan apapun berarti anda mengajarkan bahwa berbohong itu tidak mengapa dan bisa ditolerir.”
Ya, terkadang para orang tua lupa dengan hal ini, kita seringkali memberikan nasihat yang amat mendalam kepada anak-anak, namun hal itu tidaklah berbekas kecuali hanya sedikit saja. Boleh jadi hal itu dikarenakan ucapan kita tidak sesuai dengan perilaku yang kita perlihatkan dihadapan mereka. Misal, ketika adzan berkumandang anak-anak diminta bergegas untuk tepat waktu shalat berjamaah ke Mesjid, namun disisi lain sang ayah justru berleha-leha di depan monitor televisi. Inilah yang akhirnya mengurangi rasa kepercayaan anak terhadap orangtuanya.
Terakhir, hendaklah kita orang tua memperhatikan tingkah laku dihadapan anak-anak kita. Apa yang kita ucapkan mungkin saja penting, akan tetapi dalam setiap kondisi, ia tidak sepenting apa yang kita lakukan.
Mustaqim Abu Jihad
Share:

3 Januari 2017

Inilah Teguran Untuk Khalifah Harun Ar-Rasyid

oleh : Mustaqim Abu Jihad

Anak adalah anugerah. Kehadirannya laksana buah yang dinanti pada saat musim panen tiba. Alangkah indahnya hidup berkeluarga ketika Allah Ta’ala memberikan amanah berupa buah hati yang tumbuh ditengah-tengah kita. Namun, ketika Allah Ta’ala sudah memberikannya terkadang kita lalai dalam membersamai buah hati kita. Kita justru lebih sering tersibukan dengan kerjaan diluar sana dan mengabaikan kerja kebaikan dalam rumah tangga.
Seringnya, anak-anak kita hanya mendapatkan jatah sisa dari waktu yang kita punya. Seringnya, anak-anak kita hanya dianggap sebagai pelengkap dalam keluarga, bukan pokok utama yang mesti disemai dengan cinta dan kasih sayang. Lelah, menjadi alasan klasik untuk para orangtua enggan membersamai anaknya ketika di rumah. Letih, kadang menjadi hambatan orang tua untuk mendengarkan celoteh buah hatinya.

Sibuk cari uang untuk mencari uang untuk menafkahi anak, katanya. Faktanya, anak tidak sekedar butuh nafkah lahiriyah saja, tapi batinnya pun mesti diberi pupuk-pupuk cinta agar ia bertumbuh menjad pribadi yang baik ketika menginjak usia dewasa.
Karenanya, izinkan saya yang faqir ini menyampaikan kisah tentang Buhul, seorang kerabat Khalifah Harun Ar-Rasyid yang Allah berikan ilmu pengetahuan tentang agama-Nya. Kisah ini dinukil dari buku “Saat berharga untuk anak kita” karya Ustadz Mohammad Fauzil Adhim.
Suatu hari,  ketika Buhul sedang asik bermain bersama anak-anak. Harun Ar-Rasyid memanggilnya dan berkata, “Apa yang engkau lakukan?”
Saya bermain bersama anak-anak, dan membuat rumah dari tanah liat,” jawab Buhul.
Mendengar hal itu, Harun Ar-Rasyid berkata, “Engkau sangat mengherankan. Engkau tinggalkan dunia beserta isinya.”
Buhul menjawab, “Justru engkau yang sangat mengherankan. Engkau tinggalkan akhirat beserta isinya.”
Teguran Buhul kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid seolah mengambarkan bahwa pembinaan terhadap anak merupakan bekalan akhirat untuk para orangtua. Membersamainya dalam sebuah permainan, ibarat memupuk kepercayaan terhadap orangtua. Bukankah kita tidak menginginkan anak-anak kita kelak menjadi anak yang durhaka? Maka, bermain bersama adalah sarana untuk menjalin kedekatan emosional dengan sang anak. Agar kelak anak-anak kita senantiasa nyaman bercerita kepada ayah dan bundanya saat ia tengah mengalami masalah.
Bukankah kelak kita pun akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah Ta’ala apabila gagal dalam mendidik anak? Apakah kita ingin mereka menjadi penghalang masuk surganya para orangtua? Innalillahi wainnailaihi raajiunn.
Semoga, kita dapat mengambil pelajaran dai kisah ini. Bahwasannya, anak merupakan investasi kita untuk kehidupan akhirat. bukan sekedar masalah duniawi saja, namun mendidik anak merupakan dakwah nyata para orang tua untuk melahirkan generasi-generasi Rabbani.
Allahu’alam bishawab.
Share:
CARI ARTIKEL

Postingan Populer