Blog Mabsus Abu Fatih

13 Februari 2017

Panduan Lurus Ulama Seputar LGBT dan Homoseks

Ulama tentang LGBTIsu Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender atau disingkat LGBT tidak pernah sepi dari pembahasan. Ada yang pro dan ada yang kontra. Bagi kita kaum muslimin tentu butuh panduan yang jelas dan lurus atas persoalan ini. 
Berikut ini saya coba kumpulkan pendapat ulama berkaitan dengan LGBT ini. Saya kumpulkan dari buku koleksi pribadi. Alhamdulillah didapatkan delapan pendapat ulama yang berkaitan dengan LGBT ini. Pendapat ulama yang dimaksud adalah:
  1. Syaikh Sayyid Sabbiq dalam Fiqh Sunnah
  2. Syaikh Ali Ahmad Al-Jurjawi dalam Indahnya Syariat Islam (Terjemah kitab :Himatut Tasyri wa Falsafatuh)
  3. Syaikh Nawawi al-Bantani dalam Syarah Sullamut Taufiq
  4. Sulaiman Rasjid dalam Fiqh Islam
  5. Imam Adz-Dzahabi dalam al-kabaair
  6. Syaikh Abu Syuja’ Al-Ashfihani dalam Matn al-Ghaayah wat Taqrib
  7. Syaikh Al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman Ad-Dimasyqi dalam Fiqih Empat Mazhabb (Terjemah dari kitab Rahmah al-Ummah Fi Ikhtilaf al-Aimmah)
  8. Syaikh Dr. Abdurrahman al-Maliki dalam Nidzôm al-‘uqûbât.
Tentu masih banyak ulama lain yang bembahas masalah LGBT, khususnya homoseksual ini. Namun, semoga pendapat delapan ulama rahimahumullah ini sudah mencukupi sebagai panduan buat kita semua di tengah-tengah kehidupan yang tidak bersumber kepada hukum Allah Subhanahu Wa Ta’ala seperti sekarang ini.
Syaikh Sayyid Sabbiq dalam Fiqh Sunnah menyatakan “Homoseksual termasuk kriminalitas yang paling besar, dan ia termasuk salah satu perbuatan keji yang dapat merusak eksistensi manusia dan fitrah manusia, agama dan dunia, bahkan bagi kehidupan itu sendiri. Karena itu, Allah swt, memberi hukuman bagi pelaku kriminalitas ini dengan hukuman yang paling keras. Dia menenggelamkan bumi dan segala isinya akibat perbuatan kaum luth as, serta menghujani merek dengan batu dari tanah liat yang terbakar”[1] Dalam buku yang sama[2] beliau menyatakan “Rasulullah saw. Memerintahkan umat beliau untuk membunuh dan melaknat pelaku homoseks, sebagaimana tertera di dalam hadits berikut ini. Ikrimah meriwayatkan dariIbnu Abbas r.a, bahwa Rasulullah saw bersabda,
Barang siapa yang mendapatkan (sebagian umatku) mempraktikkan perbuatan kaum Luth (homoseks), maka bunuhlah si pelaku (subjek) dan objeknya” [3]
Syaikh Ali Ahmad al-Jurjawi, Direktur Asosiasi Riset Ilmiah Universitas Al-Azhar Mesir dalam bukunya, Indahnya Syariat Islam menggambarkan buruk dan hinanya homoseksual dengan menyatakan “Liwath (homo) bertentangan dengan tabiat, adab dunia dan agama. Ia bertentangan dengan adab dunia dan agama karena seorang pria merdeka yang bersih tidak rela memposisikan diri sebagai wanita dan tidak mau mengenakan pakaian wanita lebih-lebih menjadi objek bagi nafsu syahwat pria lain. Alat kelamin masuk ke lobang dubur tempat keluar kotoran dimana mendengar namanya saja jiwa tidak suka, maka lebih-lebih menyentuhnya”
Masih dalam buku yang sama, beliau menambahkan “Allah telah menurunkan kepada bangsa-bangsa terdahulu siksaan yang beragam sebagaimana telah kita ketahui. Ternyata tidak ada yang lebih dahsyat selain siksa yang menimpa kaum Nabi Luth. Sekiranya Allah tidak mengasihi kita melalui Rasulullah, pemimpin semua umat manusia, tentu kita akan mendapatkan siksa yang lebih dahsyat dari apa yang telah menimpa kaum Nabi Luth”[4] Pernyataan beliau ini mengambarkan betapa buruknya praktik homoseksual, sekaligus menjadi jawaban atas pernyataan bodoh orang-orang yang menolak pengharaman homoseksual lantaran pelaku homoseksual saat ini tidak diazab sebagaimana diazabnya kaum nabi Luth terdahulu.[5]
Sementara itu, ulama nusantara, Syekh Imam Nawawi Banten juga memiliki pendapat berkaitan dengan praktik homoseksual / liwath. Di dalam Sullamut Taufiq beliau rahimahullahmenyatakan:
فصل : وَمِنْ مَعَاصِى اْلفَرْجِ الزِّنَا وَ اللِّوَاطُ، وَيُحَدُّ اْلحُرُّ اْلمُحْصَنُ ذَكَرًا اَوْ اُنْثًى بِالرَّجْمِ بِالْحِجَارَةِ اْلمُعْتَدِلَةِ حَتّى يَمُوتَ وَ غَيْرُهُ بِمِائَةِ جَلْدَةٍ وَ تَغْرِيْبِ سَنَةٍ لِلْحُرِّ وَ بِنِصْفِ ذلِكَ لِلرَّقِيْقِ.
Di antara maksiat farji, ialah zina dan liwath (bersemburit, yaitu laki-laki yang berjima melalui dubur). Kedua pelaku-nya harus dihukum. Laki-laki merdeka yang muhsan (pernah menjima istrinya yang halal) atau wanita yang muhshan, dengan hukuman rajam, yaitu dilempari batu yang berukuran sedang sampai mati. Selain orang merdeka yang muhshan, dengan 100 kali dera dan bagi orang merdeka diasingkan selama setahun dan setengahnya dari itu bagi hamba sahaya” [6]
Sementara, ulama Nusantara lainnya, Syaikh Sulaiman Rasjid dalam Fiqh Islam dengan sangat singkat menyatakan “Orang yang mencampuri laki-laki hukumannya seperti zina”[7].
Tidak berbeda dengan Syaikh Nawawi Banten dan H. Sulaiman Rasjid, Syaikh Abu Syuja’ al-Asfihani dalam Matn al-Ghaayah wat Taqrib menyatakan:
وَ حُكْمُ اللِّوَاطِ وَ اِتْيَانِ البَهَائِمِ كَحُكْمِ الزِّنَا
Hukuman menyetubuhi laki-laki dan binatang-binatang adalah seperti hukuman berzina[8]
Imam Adz-Dzahabi dalam al-kabaair[9] memasukan Homoseksual sebagai dosa besar yang kesebelas di antara 70 dosa besar lainnya. Ayat-ayat yang dikutip oleh Imam Adz-Dzahabi adalah: QS Hud: 82, Asy-Syu’ara: 165-166, Al-Anbiya’:74. Adapun diantara hadits yang diangkat oleh Imam Adz-Dzhabi adalah hadits dari Ikrimah, dan dari Ibnu Abbas sebagaimana diangkat oleh Syaikh Sayyid Sabbiq dalam Fiqh Sunnah di atas.
Lebih dari itu, menurut Imam Adz-Dzahabi, orang-orang shalih terdahulu secara tegas menjauhi orang-orang bencong, tidak melihat mereka dan tidak bergaul bersama mereka.[10]Bahkan, terhadap bocah yang berparas tampan, para ulama memerintahkan untuk berhati-hati.Sufyan Ats-tsauritatkala memasuki sebuah kamar mandi, tiba-tiba seorang bocah berparas tampan masuk bersamanya. Ia berseru: “Keluarkan bocah ini dariku, keluarkan ia. Karena aku melihat bahwa pada setiap seorang wanita satu syetan dan pada seorang anak berparas cantik ada sepuluh syetan”[11]
Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi dalam Fiqh Empat Mazhab (Terjemah kitab Rahmah Al-Ummah fi Ikhtilaaf al-‘Aimmah) mengangkat pendapat imam madzhab berkaitan dengan homoseksual. Beliau menyatakan
Para imam mazhab sepakat bahwa homoseks hukumnya adalah haram, dan termasuk jinayat yang besar. Apakah pelakunya dikenai had?. Menurut pendapatMaliki, Syafi’i dan Hambali: Pelakunya wajib dikenai had. Hanafi berkata: Di-ta’zir jika dilakukan pertama kali. Sedangkan jika berulang kali melakukannya maka ia wajib dibunuh.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang sifat homoseks yang mewajibkan pemberlakuan had. Menurut pendapat Maliki, Syafi’i dalam salah satu pendapatnya serta satu riwayat yang dianggap paling jelas dari Hambali: Had yang dijatuhkan pada orang yang melakukan homoseks adalah dirajam, baik pelakunya itu jejaka, gadis, duda, maupun janda.
Sedangkan menurut pendapat lain dari Syafi’i dan pendapatnya yang dianggap paling kuat: Had yang diberlakukan adalah had zina. Kemudian Syafi’i membedakan antara pelaku yang jejaka serta duda dan gadis serta janda. Bagi muhsan dikenai hukum rajam, sedangkan bagi bukan muhshan dikenai hukuman cambuk. Seperti ini juga pendapat Hambali. Para imam Mazhab sepakat bahwa bukti yang diperlukan tentang terjadinya homoseksual adalah empat orang sebagaimana zina. Namun, hanafi membolehkan penetapannya dengan dua orang saksi laki-laki.[12]
Terakhir, adalah pendapat Syaikh Abdurrahman al-Maliki dalam Nidzômul Uqûbât. Beliau menyatakan bahwa Sanksi Liwath (homoseksual) berbeda dengan sanksi zina. Karena, zina berbeda dengan liwath, dan tidak bisa diqiyaskan dengan zina. Alasannya, hukum liwath berbeda dengan hukum zina. Hukum syara’ dalam sanksi liwath adalah bunuh, baik muhsan maupun ghairu muhshan.[13]
Mengenai uslub hukuman bagi pelaku liwath, Syaikh Abdurrahman al-Maliki menyampaikan, hukumannya bisa dengan cara di rajam, digantung, ditembak dengan senapan, atau dengan wasilah yang digunakan untuk membunuh boleh berbeda-beda, karena yang penting adalah menjatuhkan hukuman mati. [14]
Namun demikian, tidak boleh melakukan hukuman ini sendiri-sendiri, harus dilakukan oleh imam / khalifah atau yang mewakilinya. Sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Abdurrahman al-Maliki
وأما عقوبة الدنيا فيقوم بها الأمام او نائبه ، أي تقوم بها الدولة ، بإقامة حدود الله ، وتنفيذ أحكام الجنايات والتعزير ، وتنفيذ المخالفات .
Sanksi di dunia dilaksanakan oleh imam (khalifah) atau orang yang mewakilinya. Yaitu, diselenggarakan oleh negara dengan cara menegakkan hudud Allah, dan melaksanakan hukum-hukum jinayat, ta’zir dan mukhalafat.”[15]
Inilah pendapat beberapa ulama berkaitan dengan Homoseksual, liwath dan LGBT. Nampak jelas bagaimana hina dan bahayanya homoseksual dan betapa besarnya sanksinya menurut hukum Islam. Dengan keterangan ini, semestinya mereka yang sudah terjerumus ke dalam LGBT diingatkan dan diselamatkan serta ditarik dari komunitas mereka, bukan malah dibiarkan terjerumus dan pada akhirnya mengajak orang lain ikut terjerumus kedalam kesesatan dan kebinasaan.
Penolakan terhadap LGBT juga tidak sebatas pada penolakan secara moral semata, atau penolakan dari sisi buruknya semata, tetapi juga harus sampai pada seruan untuk diterapkannya hukum Allah secara kaafah. Hanya melalui Syariah Islam secara kaafah dalam bingkai khilafah, LGBT bisa dicabut dari akar-akarnya. Para pelakunya yang terlanjur terjerumuspun bisa dibebaskan dari siksa akherat yang teramat pedih[16]. Dan umatpun bisa diselamatkan, karena tidak akan berani secara terang-teranggan menampakan diri sebagai pelaku LGBT.
Allahua’lam Bishowaab.
Mabsus Abu Fatih

CATATAN KAKI:
[1] Syaikh Sayyid Sabbiq, Fiqih Sunnah Jilid 4, (Jakarta: Pena Pundi Aksara), 2010, Hal. 156.
[2] Syaikh Sayyid Sabbiq, Fiqih Sunnah Jilid 4, Hal. 157.
[3] Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Sunan Abi Dawud III/157, Hadits No. 4462; Tirmidzi di dalam Sunan Tirmidzi, IV/57, hadits no. 1456; Ibnu Majah dalam Sunan Ibni Majah II/856, hadits no. 2561; Hakim di dalam mustadrak Hakim IV/355; Baihaqi dalam Sunan Al-kurbro VIII/231-232; Daruquthni III/124. Dishahihkan albani dalam Irwaul Ghalil VIII/1
[4] Syaikh Ali Ahmad Al-Jurjawi, Indahnya Syariat Islam (Terjemah dari Hikmatut Tasyri Wa Falsafatuh),(Jakarta:Pustaka Al-kautsar), 2013, Hal. 408-409
[5] Serupa dengan pendapat ini, pembaca bisa merujuk kepada Tafsir Jalalain atas QS al-Anfal 32-33. Dalam tafsir tersebut ditemukan jawaban kenapa Allah tidak memenuhi permintaan orang kafir yang menantang minta diazab dengan dihujani batu dari langit. Bukan karena benarnya pendapat orang kafir tersebut, melainkan karena orang kafir bercampur baur dengan kaum muslimin sebagaimana disebutkan di dalam QS Al-Fath [48] : 25.
[6] Syekh Imam Nawawi Banten, Sullamut Taufiq Berikut Penjelasannyapasal 34 / Maksiyat Kelamin, (Bandung : Sinar Baru Algensindo), 2012, Hal. 126
[7] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo), 2006 Cetakan ke-39 Hal. 438
[8] Syaikh Abu Syuja’ al-Asfihani dalam Matn al-Ghaayah wat Taqrib, (Surabaya : Penerbit Ampel Surabaya), 2008. Hal. 138
[9] Al-Kabaair Hal. 19-21, Versi al-Maktabah Asy-Syamilah; Imam Adz-Dzhabi, Al-Kabair Galaksi Dosa, (Bekasi:Darul Falah), 2012, hal. 64-71.
[10] Imam Adz-Dzhabi, Al-Kabair Galaksi Dosa, hal. 67.
[11] Imam Adz-Dzhabi, Al-Kabair Galaksi Dosa, hal. 68.
[12] Syaikh al-‘Allamah Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqh Empat Mazhab, (Bandung: Hasyimi), 2015. Hal. 432
[13] Penjelasan lengkap silahkan merujuk ke Nidzôm al-‘uqûbât versi al-Maktabah Asy-Syamilah hal. 31-34; Bisa juga merujuk ke versi terjemahan “Sistem Sanksi dan Hukum Pembuktian dalam Islam” (digabung dengan kitab Ahkamul Bayyinat karya Abdurrahman al-Maliki), Pustaka Thariqul Izzah cetakan 2004, hal. 49-52.
[14] Sistem Sanksi dan Hukum Pembuktian dalam Islam hal. 51
[15] Nidzôm al-‘uqûbât, hal. 3; Sistem Sanksi dan Hukum Pembuktian dalam Islam hal. 6.
[16] “Sanksi di dunia bagi pelaku dosa atas dosa yang dikerjakannya di dunia dapat menghapus sanksinya di akherat. Hal itu karena, uqubat berfungsi sebagai zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus). Keberadaan uqubat sebagai zawajir, karena mampu mencegah manusia dari perbuatan dan dan tindak pelanggaran. Keberadaan ‘uqubat sebagai jawabir, karena uqubat dapat menebus saksi akhirat” (Abdurrahman al-malikiNidzôm al-‘uqûbât, hal. 3; Sistem Sanksi dan Hukum Pembuktian dalam Islam hal. 6.)
Share:

10 Februari 2017

Bahaya Berlebihan Membahagiakan Anak

Membahagiakan Anak
Sudah menjadi hal yang lumrah bahwa yang namanya orang tua akan senantiasa berusaha membahagiakan keluarga dan anak-anaknya. Jika perlu, segala kebutuhan akan dipenuhi. Istilah susah dan menderita pun akan dihilangkan dari kehidupan keluarga. Tidak sedikit pula di antara mereka yang kemudian memanjakan keluarga. Terhadap anak-anak khususnya. Namun, bagaimanakah batasan orang tua dalam membahagiakan keluarga, khususnya anak-anaknya?

Ada hadits yang barang kali bisa kita jadikan renungan. Dari Mu’adz bin Jabal r.a bahwa Nabi SAW bersabda: [Iyyaaka wa at-tana’ ’um, fainna ‘ibaadaLlahi laysuu bi al-mutana’ ’imiin] yang artinya “Hati-hatilah dengan kesenangan; karena para hamba Allah itu bukanlah orang-orang yang bersenang-senang” [HR. Ahmad dalam musnadnya, Al-baihaqi dalam Sunan-nya, Shahih al-Jaami’ No. 2668)

Mengomentari hadits ini, Fahd bin Muhammad Al Hamizy dalam al-Aabaa-u Madrasatul Abnaa-i (versi bahasa ini berjudul Merindukan Anak Shalih) menyatakan “Ini diartikan kepada berlebih-lebih dalam kesenangan dan senantiasa menyengajanya. Hal itu karena bersenang-senang dengan suatu yang mubah – meski dibolehkan – menyebabkan terbiasa dengannya dan dikhawatirkan penyimpangannya, seperti kesombongan, melampaui batas dalam kegembiraan, melampaui kemakruhan, dan semisalnya. Memperbanyak kesenangan dengan perkara mubah adalah bahaya yang besar, karena ini menyebabkan seseorang senang kepada dunia dan bersandar kepadanya, serta jauh dari rasa takut yang hal itu merupakan sayap orang mukmin

Jadi, boleh-boleh saja kita kita membahagiakan keluarga dan anak-anak kita. Namun demikian jangan sampai kesenangan tersebut menjadi kebiasaan sehingga menyebabkan anak-anak kita menjadi pribadi yang sombong, cinta dunia serta jauh dari rasa takut, khususnya rasa takut kepada Allah SWT. Allahua’lam bishowab. [] Mabsus AF
Share:

7 Februari 2017

Pengaruh Pemukulan terhadap Kemampuan Berpikir Anak

Dampak Negatif Pemukulan
Tidak sedikiti orang tua yang demikian mudah melampiaskan kemarahannya terhadap anak. Bahkan diantaranya ada yang begitu ringan tangan untuk mengekspresikan kemarahannya. Membentak, menghardi, mencaci, memaki, bahkan tidak sedikit yang melalukan tindakan fisik berupa pemukulan. Mungkin mereka menyangka dengan melakukan pemukulan terhadap anak, kedisiplinan yang mereka inginkan bisa terwujud. Atau penghormatan terhadap orang tua bisa mereka wujudkan. Padahal, dampak buruk dari pemukulan tersebut jauh lebih besar dibandingkan apa yang para orang tua inginkan.


Universitas News Hampshire di Inggris telah melakukan riset ilmiyah yang menyatakan bahwa para pelajar yang banyak mendapatkan tindakan pemukulan di rumah mereka, mengakibatkan kemampuan mereka dalam berpikir, membaca dan menghitung mengalami penurunan. Sedangkan para murid yang tidak pernah mendapatkan pemukulan mendapatkan hasil yang lebih bagus pada tiga bidang studi (Akram Misbah Utsman, 25 Kiat Membentuk Anak Hebat, Jakarta: Gema Insani, 2005. Hal. 23)

Lebih dari itu, Ath-Thuwaibi mengisyaratkan bahwa menghukum anak dengan cara yang tidak benar, menjadikan mereka merasa tidak dihargai dan tidak sederajat dengan orang-orang dewasa dalam hak-hak asasi manusia. (25 Kiat Membentuk Anak Hebat Hal. 24

Jadi, alih-alihkan mendapatkan kebaikan, justru pemukulan terhadap anak akan membunuh beberapa unsur kekuatan kepribadian anak yang paling penting. Boleh jadi sang anak akan menjadei pribadi-pribadi yang penakut, selalu ragu-ragu terkucil. Allahua'lam bishowab. []Mabsus Abu Fatih

gbr : drakemedia.net
Share:

2 Februari 2017

10 Langkah Menjemput Jodoh

Tahun telah berganti, usia pun kian bertambah. Namun, ada yang statusnya masih tetap tidak berubah antara tahun yang lalu dan tahun sekarang, belum memiliki jodoh!. Ya, bagi mereka sudah sangat mendamba pasangan hidup namun belum jua kunjung menikah, merupakan hal yang menyesakkan hati. Apalagi pada saat yang sama teman dan kenalan yang usianya dibawah kita telah mendahului dalam mendapatkan jodoh. Belum lagi undangan nikah silih berganti datang kerumah tanpa kita tahu kapan giliran namanya tercantum sebagai pihak yang mengundang.

Sebagai wujud kepedulian terhadap ikhtiyar pembaca dalam mencari jodoh. Berbekal sedikit referensi dan sedikit pengalaman yang dimiliki, berikut 10 langkah yang bisa dilakukan dalam menjemput jodoh.

Pertama : Evaluasi Motivasi Menikah. Setiap orang yang ingin menikah tentu memiliki motivasi yang berbeda-beda. Ada yang sekedar untuk merubah status dari jomblo menjadi belum menikah. Eh Maaf, menjadi sudah menikah. Tentu motivasi seperti ini sah-sah saja. Namun, jika motivasinya lebih dari sekedar itu, bisa jadi akan mendapatkan pertolongan dan kemudahan dari Allah SWT. 

Setidaknya ada tiga motivasi besar seorang muslim / muslimah menikah.
  1. Untuk menghindarkan diri dari zina.
  2. Melahirkan generasi Islam yang sholeh dan sholehah.
  3. Agar bisa berpartisipasi membantu Rosulullah SAW dalam membanggakan jumlah umatnya di hadapan para nabi di yaumil akhir nanti.
Rasulullah SAW bersabda: “Kawinilah oleh kalian wanita penyayang lagi subur, karena aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian di hadapan para nabi yang lain pada hari Kiamat kelak” (HR. Ahmad) 

Jika ada seseorang yang mengajukan proposal kepada sebuah lembaga dengan latar belakang pembuatan proposal kurang kuat, bisa jadi tidak dikabulkan. Pun demikian halnya dengan motivasi menikah. Harapannya dengan motivasi yang kuat, Allah SWT mengambulkan harapan mendapatkan jodoh. 

Kedua : Pertimbangkan Ulang Standar Pasangan Idaman. Seorang menikah tentu memiliki standar kriteria yang diinginkan. Bukan sekedar wanita atau pria. Gelar, status sosial, usia, suku, penghasilan adalah beberapa kriteria yang dimiliki. Boleh-boleh saja memiliki kriteria yang seabrek. Namun, prinsip yang harus diingat adalah, “Semakin banyak dan ketat kriteria, maka semakin sulit dan kecil peluang mendapatkan jodoh yang diinginkan”.

Cukuplah kiranya pemahaman agama dan akhlaq yang bagus dijadikan sebagai kriteria utama yang tidak boleh ditawar-tawar. Adapun kemapanan ekonomi, tingkat pendidikan, dan lain sebagainya sebaiknya tidak dijadikan sebagai syarat ketat pasangan yang diidamkan.

Ada seorang teman yang belum mendapatkan jodoh. Ternyata salah satu penyebabnya dia mensyaratkan pasangannya haruslah sama-sama sarjana. Pada saat yang sama ada seorang yang bersedia menerima suami yang hanya lulusan pondok pesantren (setingkat SMP). Saat ini mereka hidup bahagia dengan memiliki banyak anak. Bahkan mereka berdua saat ini telah memiliki Yayasan Pendidikan di daerah Gresik – Jawa Timur. Tingginya pendidikan tidak menjadi syarat menggapai kebahagiaan, maka jangan dijadikan syarat yang ketat dalam memiliki pasangan.

Di dalam kitab an-Nidzomu al-Ijtima'iy Fil Islam (terjemah Sistem Pergaulan dalam Islam hal. 179) disebutkan, “Adapun masalah Kafaa’ah (Kesederajatan atau kesetaraan) antara suami dan isteri, hal itu tidak ada dasarnya sama sekali, kecuali dalam sejumlah hadits palsu. Al-Quran al-Karim sendiri menolaknya, begitu pula sejumlah hadits sahih. Maka, setiap wanita Muslimah pada dasarnya pantas untuk pria Muslim manapun. Berbagai perbedaan antara pria dan wanita dalam masalah harta, pekerjaan, garis keturunan, atau yang lainnya, tidak ada nilainya sama sekali.”

Ketiga : Mapankan Ekonomi.  
Tidak dipungkiri secara umum seorang laki-laki yang memiliki pekerjaan lebih diminati oleh seorang wanita. Pun sebaliknya. Maka bagi mereka yang belum memiliki penghasilan hendaknya lebih semangat lagi dalam mencari nafkah. Setidaknya untuk mencukupi kebutuhan primer dan sebagian kebutuhan sekunder pasangan hidupnya. 

Keempat : Keluarga Membantu Memperbaiki Status Sosial.  
Menikah bukan hanya menyatukan dua individu, melainkan juga menyatukan dua keluarga. Ada kalanya seorang pria tidak jadi meminang seorang wanita setelah mengetahui bahwa keluarganya berasal dari keluarga yang rusak. Atau sebaliknya. Maka kiranya bagi keluarga yang memiliki anak yang belum menikah agar memperbaiki reputasi keluarganya di lingkungan masyarakat.

Kelima: Tingkatkan Penampilan Diri.  
Rupawan atau tidak adalah Takdir Allah SWT. Namun, menjaga kebersihan wajah dan badan, menjaga kerapihan pakaian dan penampilan adalah pilihan kita. Wajah yang tidak rupawan dan fisik yang biasa saja dibarengi dengan senantiasa rapih dan bersih tentu akan meningkatkan daya tawar. 

Disamping menjaga kebersihan dan penampilan, hal lain yang perlu dilakukan adalah dengan memperbanyak hafalan ayat dan hadits. Orang yang memiliki banyak hafalan ayat dan hadits memiliki aura yang berbeda dengan orang yang sedikit atau tidak memiliki hafalan sama sekali. Bukankah Rosulullah SAW bersabada, “Semoga Allah mencerahkan (mengelokkan rupa) orang yang mendengar hadits dariku, lalu dia menghafalnya – dalam lafazh riwayat lain: lalu dia memahami dan menghafalnya –, hingga (kemudian) dia menyampaikannya (kepada orang lain), terkadang orang yang membawa ilmu agama menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya, dan terkadang orang yang membawa ilmu agama tidak memahaminya” (Hadits shahih dan mutawatir; diriwayatkan oleh imam Abu Dawud (no. 3660), at-Tirmidzi (no. 2656), Ibnu Majah (no. 230), ad-Darimi (no. 229), Ahmad (5/183), Ibnu Hibban (no. 680), ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul kabiir” (no. 4890), dan imam-imam lainnya.

Keenam : Perbaiki Pemahaman Agama.  
Disamping merupakan suatu kewajiban, memperbaiki pemahaman agama merupakan langkah efektif untuk mendapatkan jodoh. Bahkan boleh dibilang ini merupakan salah satu langkah yang paling penting dan utama.

Point ketiga, keempat, kelima dan keenam ini didasarkan pada hadits mulia Rosulullah SAW. “Wanita itu dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Utamakanlah karena agamanya, niscaya engkau akan beruntung” (Muttafaq ‘Alayhi dari Abu Hurayrah RA)

Ketujuh : Selektif dalam Memilih Teman dan Lingkungan Pergaulan
Seringnya seseorang bergaul dalam lingkungan yang tidak baik. Pergaulan bebas, pakaian kusam nan tidak terurus. Senantiasa nongkrong dipinggir jalan. Bergaul dengan orang yang tidak peduli dengan sholat dan ibadah, tentu akan menjadikan calon-calon mertua mencoret dari daftar calon menantu yang diidamkan. Oleh karena itu kiranya perlu untuk melakukan seleksi terhadap teman dan lingkungan pergaulan. Hanya teman yang berakhlaq baik dan lingkungan yang baik pula yang kemudian kita pilih. 

Kedelapan : Tidak Perlu Malu untuk Meminta Bantuan Orang Lain Mencarikan Jodoh. Meminta bantuan orang tua untuk mencarikan jodoh bukanlah aib. Orang tua dengan pengalamannya memiliki relasi yang lebih luas dibandingkan dengan sang anak. Tidak jarang terjadi seorang wanita bisa mendapatkan jodoh karena usaha keras dari orang tua dalam mencarikan jodoh.
Orang lain yang perlu dimintai bantuan dalam mencari jodoh adalah seorang Ustadz. Saya pribadi melakukan langkah ini dan alhamdulillah berhasil. Ustadz yang memiliki jamaah dan kenalan yang luas, bisa diharap bantuannya dalam memilihkan jodoh yang ideal.

Kesembilan : Perbanyak membantu orang lain.
Dari Abu Hurairah RA dia berkata : RasuluLlah Shallahu ‘Alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membantu seorang muslim (dalam) suatu suatu kesusahan di dunia, maka Allah akan menolongnya dalam kesusahan pada hari Kiamat. Dan barangsiapa yang meringankan (beban) seorang muslim yang sedang kesulitan, maka Allah akan meringankan (bebabnya) di DUNIA dan di akhirat” [Shahih, HR. Muslim no. 2699]

Cukuplah kiranya hadits tersebut menjadi dasar langkah kesembilan ini. Semoga dengan banyak membantu orang lain Allah akan meringakan beban di akherat dan juga di dunia. Beban belum memiliki jodoh di antaranya.
Membantu anak yatim dan kaum dhuafa bisa menjadi prioritas dalam membantu orang lain. 

Kesepuluh : Dahsyatkan Kekuatan Doa. Banyak sekali buku yang mengupas bagaimana agar doa memiliki kekuatan yang dahsyat. Kalau boleh disederhakan kekuatan doa bertumpu kepada tiga hal. Waktu yang mustajab, tempat yang mustajab dan kondisi orang yang berdoa. Mengenai waktu, usai sholat fardlu, di sepertiga malam, di saat menjelang berbuka puasa (baik wajib maupun sunnah) adalah di antara waktu yang mustajab. Berdoa di masjid, baitullah, tempat yang suci adalah di antara tempat yang mustajab. Adapun kehalalan makanan, ketakwaan individu dan keyakinan terkabulnya doa merupakan diantara faktor yang bisa mendahsyatkan kekuatan doa dari sisi internal orang yang berdoa. 

Untuk mengingkatkan keyakinan akan terkabulnya doa, silahkan baca dan resapi firman Allah SWT dalam QS Maryam [19] : 1-9 dan QS Sad [38]: ayat 79-80.

Dalam QS Maryam ayat 1-9 Allah SWT mengabulkan doa Zakaria untuk mendapatkan keturunan meski usianya telah lanjut dan istrinya pun mandul. Adapun QS Sad [38] ayat 79-80 memberikan pelajaran kepada kita betapa Allah SWT pernah mengabulkan keinginan Iblis untuk ditangguhkan. Pada iblis merupakan makhluk terkutuk, ternyata Allah SWT berkenan memenuhi permintaan tersebut. InsyaAllah sebanyak apapun dosa kita, asalkan masih beriman kepada Allah SWT dan Rosulnya, masih jauh lebih mulya dari Iblis. Artinya peluang untuk dikabulkan doa masih sangat terbuka.

Semoga kesepuluh langkah ini bisa membantu pembaca dalam mendapatkan jodoh yang diidamkan. Aamiin Ya Robbal 'Alamiin. []Mabsus Abu Fatih
Share:
CARI ARTIKEL

Postingan Populer