Memiliki pasangan hidup melalui
pernikahan yang sah merupakan sebuah kebahagiaan. Kenapa? Karena dengan menikah
seseorang telah terpenuhi nalurinya untuk mendapatkan pasangan hidup dan bisa mendapatkan
keturunan. Sebaliknya, ketiadaan pasangan hidup bisa mendatangkan kegelisahan
dan nestapa. Apalagi jika usia kian bertambah, namun dengan siapa akan menikah
belum juga diketahui. Jadi jelas, menikah merupakan sebuah nikmat yang
semestinya kita syukuri.
Namun sayangnya, tidak sedikit
pasangan suami istri yang melupakan nikmat ini. Mereka lebih melihat pada
kekurangan pasangan masing-masing, sehingga kebahagiaan yang semestinya mereka raih hilang entah kemana. Padahal di luar sana, banyak yang memiliki
kemapanan ekonomi, status sosial yang tinggi, dihormati masyarakat seakan tidak
ada artinya ketika belum memiliki pasangan hidup. Mereka menjerit, merintih dan
menangis menantikan pasangan hidup yang tidak kunjung tiba.
satu
diantara sekian banyak orang tersebut adalah seorang dokter perempuan malang yang
tidak disebutkan namanya. Sang dokter perempuan tersebut menumpahkan jeritan
isi hatinya dalam sebuah tulisan. Tulisan sang dokter tersebut kemudian dikutip
dalam sebuah buku “The Way to Hapinnes”. Buku yang ditulis oleh Dr.
Naseer Al-Omar dan Syaikh Abdul-Rahman Al-Sa’adi tersebut diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia oleh Wadi Press dengan Judul, “Jalan Menuju Kebahagiaan”.
Cerita tersebut ada pada halaman 43-44. Saya kutip utuh untuk dijadikan nasehat
dan pengingat bahwa memiliki pasangan hidup merupakan sebuah kebahagiaan yang
semestinya kita syukuri.
Seorang DOKTER PEREMPUAN menangis
sembari mengeluh, “Bawa ijazah saya dan carikan saya seorang suami.” Mari kita
lihat tulisan dokter yang malang ini.
Setiap jam 07.00 pagi, saya
selalu meneteskan air mata di balik punggung sopir pribadi saya, yang mengantar
saya ke “penjara” atau “liang kubur” klinik tempat saya bekerja.” Dia
melanjutkan keluh-kesahnya, “Setiap kali saya sampai di tempat tujuan, saya
mendapati banyak perempuan dan anak-anak yang telah menanti kehadiran saya.
Mereka memandang saya dengan penuh hormat dan menganggap jas putih saya
bagaikan sehelai baju mewah yang terbuat dari sutera Persia, sedangkan saya
menganggapnya pakaian berkabung. Dan setiap kali saya sampai di ruang kerja,
kemudian mengalungkan stetoskop ke leher, saya merasa seperti mengalungkan
tambang ke batang leher seperti orang yang mau dihukum gantung. Kini saya telah
berumur 30-an tahun dan saya merasa sangat pesimis dengan masa depan saya.”
Tangisnya pun meledak! “Bawa ijazah saya, jas putih saya, dan uang saya; saya
ingin dipanggil dengan sebutan “MAMA”.
Kemudian
ia menulis beberapa baris kalimat untuk menggambarkan perasaan hatinya yang
paling dalam, “Orang-orang memanggil saya Dokter. Tapi, manfaat apa yang saya
dapatkan dari panggilan seperti itu? Oleh karena itu, sampaikan kepada
orang-orang yang menjadikan saya sebagai teladan, bahwa sekarang saya adalah
orang yang perlu dikasihani. Yang selalu saya inginkan dan harapkan adalah
memiliki anak kandung yang dapat dipeluk dan dibelai setiap waktu. Tapi, apakah
itu semua dapat dibeli dengan uang?” [ selesai ]
Semoga membaca kisah tersebut
membuat kita lebih bersyukur telah memiliki pasangan hidup. Apalagi jika Allah
tambahkan kenikmatan tersebut dengan hadirnya buat hati yang memanggil kita
dengan sebutan Ayah atau Ibu. Alhamdulillah
Selasa, 12 September 2017
Mabsus Abu Fatih
0 comments:
Posting Komentar
Terima kasih berkenan memberikan komentar